Perjuangan Suci Mencegah Parnikahan Dini
Pegiat Sosial
Namanya Suci Apriani. Pada usianya yang
22 tahun, mahasiswi tingkat akhir Program Studi Kimia Fakultas MIPA
(Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam), Universitas Mataram, Lombok itu, mau mengambil
peran sosial yang tidak mudah di kampung kelahirannya di Desa Kediri, Lombok Barat. Meski berstatus desa, Kediri ialah kota
kecamatan yang berpenduduk lebih dari 10 ribu jiwa, yang tersebar di 8 dusun.
Lokasinya tak jauh dari Kota Mataram.
Suci cukup dikenal di sebagian kalangan warga Kediri. Namanya sering muncul di
berbagai media online dan medsos, termasuk sebagai salah satu dari peraih penghargaan 12 Women of The Year 2021
versi Majalah Wanita Her World Indonesia, awal November lalu. Penghargaan
ini disematkan atas kiprah Suci Apriani
sebagai aktivis perempuan yang tegas melawan tradisi pernikahan dini di lingkungan
masyarakatnya.
‘’Sudah menjadi cerita klasik, perkawinan dini itu sering ditimpa banyak masalah,’’ kata Suci dalam sebuah diskusi
santai bersama sejumlah remaja putri di Sekretariat KPAD (Kelompok Perlindungan Anak Daerah)
Desa Kediri pertengahan 2021. Sebagai
Ketua KPAD Desa kediri, Suci Apriani sering
mengundang kelompok remaja puteri dan ibu-ibu untuk mendiskusikan isu perkawinan
dini.
Perkawinan dini setelah sekian tahun berjalan sering berujung pada krisis
rumah tangga. Persiapan yang seadanya, membuat biduk rumah tangga pasanga
muda mudah oleng oleh masalah ekonomi
dan sosial. Buntutnya terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Tak jarang krisis
itu berujung ke kasus perceraian. Si ibu muda acap kali harus menerima
kenyataan harus menjanda dan dibebani
sekian anak, dan harus menjalani kehidupan tanpa topangan ekonomi yang
memadai.
Sejak usia 17 tahun, Suci sudah sering
terjun sebagai relawan yang mencegah praktik perkawinan dini. Sesuai
ketentuan pada Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, usia minimal pernikahan saat
ini ialah 19 tahun, baik untuk perempuan
maupun laki-laki.
Dalam praktiknya, ketentuan itu harus menenggang terhadap
pengecualian-pengecualian seperti kasus
kehamilan di luar nikah atau tuntutan adat dan agama (menghindari
perzinahan). Situasi ini yang kemudianmenjaga keberlanjutan tradisi pernikahan dini di sebagian masyarakat. Suci sudah menjadi pegiat sosial yang
menentang pernikahan dini itu sebelum UU Nomor 15/2019 itu lahir.
Pada sebagian masyarakat Indonesia perkawinan pada usia muda itu masih jamak
terjadi. Catatan tahun 2018 menunjukkan, bahwa 1 dari 9 anak Indonesia menikah
pada yang masih usia di bawah 18 tahun. Secara aktual, pada tahun 2018 ada 1,2
juta perempuan berusia di bawah 18 tahun yang statusnya menikah. Selama 10
tahun, antara 2008 – 2018, prevalensi pernikahan usia bocah hanya turun 3,5
persen. Jangan heran bila Indonesia
masuk dalam 10 negar a di dunia dengan prevalensi pernikahan anak tertinggi di
dunia.
Situasi pandemi Covid-19, yang diwarnai dengan pembelajaran secara online
di sekolah-sekolah di Indonesia, ikut menyuburkan pernikahan dini. Pengajuan
dispensasi usia pernikahan di Indonesia.
Walhasil, pernikahan usia dini naik dari 23.700 pada tahun 2019 menjadi 34.000 kasus
pada 2020.
Biasa menyaksikan kasus pernikahan dini yang kandas di tengah jalan, dan
menimbulkan persoalan yang lebih berat di sisi kaum perempuan, Suci Apriani
menganggap, kondisi itu tidak adil. Lebih baik, katanya, perkawinan dilakukan jika kedua pihak sudah cukup umur,
dewasa, mandiri, dan sanggup menghadapi situasi
terburuk. ‘’Kasus kekerasan dalam rumah
tangga sering terjadi pada pasangan yang menikah di usia dini,’’ katanya.
Khusus di kalangan masyarakat Lombok, tutur Suci, pernikahan dini itu sering berlindung di
balik tradisi merarik, yakni tradisi tradisi anak laki-laki melarikan anak
kekasihnya, sebagai jalan pintas menuju pernikahan. Dengan cara merarik, pihak laki-laki terbebas dari prosesi lamaran,
yang tak menjamin bisa mendapat persetujuan dari keluarga perempuan.
Ketika sang dara dilarikan kekasihnya, keluarganya mencari. Namun, pelarian
itu didukung pihak lelaki, sehingga pasangan itu bisa menyingkir ke tempat yang
aman. Setelah tiga hari berlalu, dari pihak lelaki menemui tetua adat di
lingkungan keluarga perempuan dan menyatakan bahwa sang dara dalam proses
merarik.
Sesepuh adat itu kemudian akan menyampaikan kabar itu ke pihak perempuan.
Dalam situasi ini, pihak keluarga perempuan suka atau tidak suka biasanya
menerima niat perkawinan itu, lantaran menganggap sang dara sudah tercabut
kesuciannya. Ujungnya, sang dara dikembalikan ke rumah dengan diantara
arak-arakan kecil dan tetabuhan. Perkawinan resmi pun tingggal menunggu hari.
Sialnya, banyak pelaku merarik itu adalah remaja kencur. Suatu kali,
sebagai pegiat di KPAD Kediri, Suci menerima laporan, ada remaja pria 17 tahun
merarik gadis 15 tahun. Suci cepat
bergerak. Ia berinisiatif melakukan mediasi untuk membatalkan niat pernikahan
dini itu. Suci mengajak Kepala Dusun setempat ikut terjun dalam memediasi
antara pihak laki-laki dan perempuan.
Sabagai aktivis KPAD, Suci dengan lantang menyampaikan pandangannya tentang
resiko yang bisa muncul dari perkawinan dini itu. Walhasil, kedua belah pihak
bisa menerima. ‘’Perkawinan itu usia dini itu batal,’’ ujarnya. Bukan hanya
sekali ia melakukannya. Bersama, organisasi pemuda di desa Kediri, ia telah
melakukannya sejak usianya 17 tahun. Untuk mendapatkan legalitas bergerak, Suci
dan teman-temannya pun membentuk KPAD.
Toh, upaya mediasi tak selalu berhasil. Di laman rudgers.id (edisi 4
November 2020), ia menuliskan kisahnya, bahwa ia bersama Kepala Dusun dari Kediri dan seorang tokoh
agama, mendatangi desa lain. Mereka berniat membawa sang gadis,yang sedang
dalam proses merarik pulang ke rumahnya. Awalnya, mereka bisa membujuk sang
tuan rumah mengembalikan si dara.
Namun, sesepuh adat setempat yang hadir dalam mediasi ngotot agar merarik
berlanjut ke jenjang perkawinan, meski kedua sejoli di bawah umur. ‘’Mereka
membawa golok dan mendesak pihak pria melanjutkan proses merariknya. Keluarga
pria terpengaruh,’’ tulis Suci. Mediasi beranjak panas dan mentok. Suci dan
rombongan pulang dengan tangan hampa.
Kalau pun mediasi berhasil, resiko tetap ada. ‘’Mereka yang merasa
dirugikan sering kesal, dan saya tidak ditegor lagi meski kami saling
mengenal,’’ ujarnya.
Suci Apriani tak mau hanya menunggu kasus datang dan baru melakukan mediasi. KPAD Kediri telah
berkolaborasi dengan pemuda Karang
Taruna dan Ibu-Ibu PKK setempat untuk
melakukan tindakan pencegahan. Di antara mereka sering melakukan kegiatan
bersama, dalam bentuk pelatihan praktis posyandu (pos pelayanan terpadu)
terkait kesehatan reproduksi, pencegahan penyakit menular dan ketrampilan yang
terkait dengan kegiatan ekonomi rumah tangga.
Aktivitas KPAD Kediri ini rupanya bergaung sampai jauh. Kiprahnya menjadi
rujukan KPAD lain, yang bahkan dari luar Lombok, juga dari daerah lain. Suci Apriani sempat mendapat Anugerah Perempuan Hebat 2021
pada momen hari Kartini, (21/4/2021) dari Liputan6.com, dalam kategori pegiat
edukasi pencegahan perkawinan anak.
Sebagai anak muda yang terdidik, Suci dianggap telah berani melakukan
langkah menuju perubahan. Ia dinilai
telah memberikan kontribusi nyata dari seorang perempuan untuk kaumnya. Suci
sendiri mantab bergerak karena didukung penuh oleh keluarganya.
Indy Keningar.
Komentar
Posting Komentar