Meniti Zaman Dengan Udeng dan Tanjak
Fashion
Pada era baru saat ini, memasuki dekade ketiga milenium, tren mode semakin
individual. Ada mode yang dasar yang berlaku umum, namun karena begitu banyak
variasi produknya, setiap orang punya kesempatan untuk memilih yang paling
sesuai dengan selera pribadinya. Ini berlaku untuk tren baju, gaun, jaket,
sepatu, penutup kepala dan banyak lainnya.
Masing-masing punya gaya. Kaum urban Amerika Serikat (AS) masih terus
menggandrungi jaket dan sepatu model streetwear. Konsepnya kebebasan gerak
inndividu. Jaketnya tidak membuat ribet bila dipakai bersepeda atau
bergelantungan di MRT. Sepatunya ringan dengan sol empuk, nyaman buat jalan kaki. Mode itu telah samgat mendunia.
Topi? Jenisnya masih itu-itu
saja. Ada topi baseball, distro, army , snapback, dan seterusnya. Semua banyak
pilihan warna, bentuk, aksen, dan harga. Begitu banyak pilihan, dan mudah
diakses di gerai-gerai online, membuat semua produk itu melayani keinginan
individual.
Mode-mode yang mendunia itu telah diadopsi pula oleh khalayak
muda Nusantara. Pada saat yang sama, muncul inisiatif individu dan kolektif, yang mengusung gerakan menginkorporasikan
atribut tradisional Indonesia dalam gaya sehari-hari. Sebut saja
inisiasi Remaja
Nusantara yang mengajak kaum muda-mudi melestarikan kain khas Nusantara, juga
disebut wastra.
Di akun instagramnya, melalui tagar #BerkainGembira dan #BerkainBersama, para pengikut akun Remaja
Nusantara ramai-ramai mengunggah foto mereka yang mepadupadankan kain batik atau tenun menjadi busana
trendi, dipadukan dengan sepatu
sneaker atau sejenisnya. Namun, langkah kreatif anak-anak muda itu masih harus tawar-menawar dengan konsep streetwear yang mampu
mendunia karena kepraktisannya.
Kalangan anak muda yang lain menawarkan mode penghias kepala tradisional
berselera milenial. Yang kini banyak terlihat di postingan medsos antara lain
udeng Bali, iket kepala Jawa dan Sunda, kopiah batik, blangkon Jawa dan Sunda,
Seraung Dayak, Tanjak Palembang, serta Kuluk Beselang Matuo, penutup kepala
untuk perempuan neo-tradisional dari Jambi.
Kepeloporan Presiden Jokowi
Penghias kepala tradisional ini cukup mendapat sambutan. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno kerap terlihat
mengenakan udeng khas
Bali di kepalanya, dipadukan
dengan kain warna senada dan celana Panjang kasual. Ia memakai sepatu
streetwear.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo sering kali tampil mengenakan busana adat Jawa lengkap dalam acara
resmi daerah. Pada kesempatan lainnya, ia mengenakan busana khas Melayu,
Minang, atau Maluku Utara. Pada acara setengah resmi, Ganjar memakai blangkon
warok, atau ikat kepala batik yang
dipadu dengan jaket streetwear, celana jeans dan sepatu sneaker.
Di Instagram pribadinya, Ganjar Pranowo memajang sejumlah foto dirinya dengan
busana berbagai daerah, lengkap dengan penutup kepalanya. Ia gencar
memperkenalkan busana Nusantara.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Gubernur DKI Anies Baswedan, dan
Walikota Bogor Bima Arya juga masuk dalam deretan pejabat daerah yang gemar mengenakan
busana daerahnya, meski tak selalu
busana lengkap. Ridwan kamil dan Bima Arya suka mengenakan ikat kepala khas
Sunda yang simple. Kadang mereka mengkolaborasikan dengan baju pangsi dan
celana jeans. Pada acara resmi daerah, mereka pun sering tampil dengan busana
adat lengkap.
Gubernur Anies Baswedan pun tampak nyaman mengenakan busana tradisional
Betawi, utamanya pada acara-acara resmi daerah, dengan beskap peci dan kain ala
Teluk Belanga. Pada kesempatan yang lebih kasual, ia kenakan peci, baju pangsi
dan celana kasual. Ciri kedaerahannya muncul.
Tren pejabat mengenakan busana tradisional itu tentu tak lepas dari
kepeloporan Presiden Jokowi. Di puncak upacara peringatan Hari Kemerdekaan RI
17 Agustus di Istana Merdeka, Presiden Jokowi tampil dengan busana daerah,
berselang-seling, mulai dari
Lampung, Aceh, Nusa Tenggara Timur,
Bali, dan seterusnya. Pada acara yang sama, para Menteri dan pimpinan Lembaga
negara yang ikut hadir, juga mengenakan busana tradisional pilihan
masing-masing.
Namun, apakah busana daerah itu hanya untuk dikenakan pada acara-acara
seremonial, atau bisa dikenakan sebagai bagian dari busana sehari-hari.
Presiden Jokowi memeloporinya, dan sejumlah pejabat seperti Menteri Sandiaga
Uno, Gubernur Ganjar Panowo, Guburnur Ridwan Kamil, dan Pak Walikota Bogor Bima
Arya, mencoba membawa ke tataran yang lebih praksis yakni sebagai bagian dari
busana kasual.
Inkorporasi Atribut Budaya
Sebagai negara multikultural, jenis atribut khas Nusantara begitu beragam.
Setiap daerah memiliki atribut dan busananya sendiri, termasuk untuk penutup kepala. Di Bali, kaum prianya mengenakan udeng. Belakangan,
busana tradisional Bali
dilirik orang dan dikenakan sebagai bagian dari busana sehari-hari. Bukan hanya Menteri
Parekraf Sandiaga Uno, sejumlah pesohor seperti Raffi Ahmad, Ananh Hermansyah, Irfan Bachdim, Stefan William dan banyak
lainnya, memamerkan foto yang
mengesankan betapa mereka nyaman mengenakan udeng Bali.
Tentang, seberapa penting atribut tradisional ini bagi kemajuan
masyarakat, pertanyaan itu tentu membutuhkan kajian tersendiri. Namun, di balik
warna, corak kain, serta bentuk dari busana dan atribut itu ada narasi
tersendiri. Tidak ada salahnya mencoba membunyikan narasi lokal di tengah
serbuan narasi asing yang bertubi-tubi.
Udeng Bali misalnya, ia bukan
hanya aksesoris. Udeng sesungguhnya memiliki makna filosofis bagi masyarakat Hindu Bali. Ada 3 macam udeng yang ditemui.
Ada yang warna hitam, warna
putih dan yang berwarna-warni serta bercorak.
Masing-masing warna punya tersendiri.
Menurut Parisadha Hindu Darma Indonesia (PHDI) Bali, untuk acara keagamaan di Pura, ketentuan yang berlaku adalah pemakaian udeng berwarna putih. Ini membawa makna kembali kepada fitrah, kejernihan, kedamaian pikiran serta kemurnian
diri. Untuk berkabung, udeng hendaknya berwarna hitam. Untuk kegiatan sosial udengnya
boleh berwarna warni, dan bukan hitam atau putih.
Udeng dibuat dari lipatan kain, didesain sebagai
karya seni, dan dijahit melingkar. Pemakaiannya tinggal menceploskan di
kepala seperti topi dengan
posisi agak miring. Sisi
kanan agak ditinggikan, yang dimaknai makna
bahwa setiap orang harus berusaha mengarah pada kebajikan, yang ditandai dengan
arah kanan. Ikatannya diposisikan persis di
bagian tengah kening. Ini memaknai pemusatan pikiran. Ujung
ikatan dibentuk menjuntai lurus
ke atas sebagai pemaknaan pemujaan Tuhan YME.
Selain dari warnanya, udeng memiliki beberapa variasi model
yang sedikit berbeda dengan masing-masing mengandung makna berbeda. Jenis-jenis
tersebut di antaranya:
Udeng jejateran
Merupakan udeng dengan fungsi untuk
aktivitas ibadah. Ssimpul hidup di bagian depan yang ada pada sela mata itu melambangkan mata ketiga atau
cundamani.
Udeng dara kepak
Udeng jenis ini ditujukan bagi tokoh pemimpin. Ciri khasnya adalah adanya
penutup kepala, yang menjadi lambang pemimpin yang handal dalam melindungi
rakyatnya.
Udeng beblatukan
Udeng ini secara khusus dipakai oleh pemangku adat dan tak disertai bebidakan. Memiliki ciri khas dengan simpul di belakang
yang diikat ke arah bawah. Pemakaian ini memiliki makna harapan bagi pemakainya
agar bersikap mendahulukan kepentingan khalayak katimbang pribadinya.
Di luar Bali, masih ada banyak ragam model penutup kepala lannya dari
berbagai daerah dan suku lain di Indonesia. Masing-masing dengan pemaknaannya
sesuai budaya setempat. Sebut misalnya :
Blangkon
Penutup kepala bermotif batik asal Jawa dan Sunda itu biasa dipakai
sebagai atribut upacara adat atau kegiatan sosial tertentu.
Salah satu pemaknaan blangkon ialah pengendalian diri. Sementara pribadi dengan
nafsu yang tid ak terkendali disimbolkan oleh lelaki dengan rambut panjang yang awut-awutan. Blangkon menutup rambut
yang riap-riap itu.
Blangkon dibuat dengan lipatan yang serba teratur dan simetris. Detail dari
desain blangkon bisa berbeda dari satu ke subkultur yang lain. Di Jawa saja ada
Blangkon Jawa Timuran, Blangkon Solo, Jogya, Kedu, Banyumasan dan yang lain. Di
samping itu ada pula blangkon Sunda dengan segala variasinya.
Iket
Iket kepala itu juga ada dalam budaya Jawa dan Sunda. Bahan iket adalah
kain persegi, biasanya bermotif batik, ukuran sekitar 80 x 80 cm. Di Jawa, tali
iket umumnya di belakang. Untuk tradisi Sunda ada yang tali ikatnya di depan,
di tengah kening.
Seraung
Bentuknya persis caping di masyarakat
Jawa atau Sunda, yang terbuat dari anyaman bambu. Tapi, Seraung Dayak
dibuat dari bahan yang berbeda, yakni dari daun pandan atau daun biru yang
lebih lembut tekturnya. Seringkali seraung dilapisi kain, dihias dengan motif
tertentu dan diperkaya oleh susunan manik-manik yang membentuk motif
warna-warni.
Seraung biasa dipakai untuk aktivitas di luar ruangan, bahkan bisa
digunakan untuk perjalanan di dalam hutan atau berlayar menyusuri sungai. Bentuknya yang lebar berfungsi untuk
melindungi kepala dari terik matahari, hujan dan resiko serangan ular pohon.
Tanjak
Penutup kepala asal Palembang yang dibuat dari kain songket. Tanjak biasa
dikenakan pada acara resepsi pernikahan oleh keluarga pengantin pria. Selain di
upacara pernikahan, di berbagai acara adat tanjak juga kerap digunakan. Dengan
motif dan warnanya yang keren, anak-anak muda kini sering mengenakan tanjak
dalam acara-acara tidak resmi, yang dipadukan dengan busana kasual dan sepatu
sneaker.
Kuluk Beselang Matuo
Dalam tradisi Jambil, dalam seremoni adat seperti resepsi perkawinan, kaum
perempuan, tua atau muda, sering tampil dengan kepala dibalut kuluk beselang
matuo. Untuk keperluan kuluk beselang matuo ini diperlukan kain panjang seperti
selendang, satu atau dua helai. Bentuknya bisa beragam, namun ciri khasnya
adalah adanya satu ujung kain yang dibiarkan terjuntai sebagai aksen.
Di atas lipatan kain itu bisa dipasang aksesori manik-manik atau hiasan
logam. Kualitas aksesori itu dapat
menggambarkan status sosial pemakaianya. Kuluk beselang matuo ini mirip
dengan turban, lilitan kain di kepala
perempuan bangsawan dari Kesultanan Mugal di India abad-16. Belakangan, model
lilitan kain ala kuluk beselang ini sering terlihat dikenakan anak-anak muda
dalam berbagai acara, yang yang resmi maupun yang kasual.
Masih banyak hiasan kepala tradisional lainnya. Semuanya bisa dirancang
ulang, tanpa mengubah filosofinya, dan dikenakan sebagai fashion. Ada sentuhan
estetika, pesona etnik dan simbol budaya, di sana. Bila memenuhi tuntutan kepraktisan,
berbagai macam penutup kepala khas
Nusantara itu bisa menjadi produk yang diterima secara lintas negara dan lintas
budaya.
Kekayaan budaya bisa tumbuh menjadi kekuatan budaya. Bila merasa memiliki budaya yang kuat dan adaptatif, warga
masyarakat tak akan gamang berpijak pada budaya sendiri seraya meniti jalan melintasi zaman yang cepat berubah dan penuh
tantangan.
Indy Keningar
Komentar
Posting Komentar