Langkah Bersama Atasi Dampak Putus Sekolah Akibat Pandemi
PANDEMI
virus Corona (Covid-19) yang hingga saat ini terus berkelanjutkan menimbulkan
dampak cukup signifikan dalam berbagai aspek kehidupan. Salah satunya adalah
dalam bidang pendidikan. Sebagai contohnya, pada September hingga Desember 2020
sebanyak 1% anak usia 7-18 tahun
mengalami putus sekolah selama pandemi Covid-19. Survei dilakukan terhadap 122.235 anak dan menemukan 1.243 anak
berhenti sekolah.
Angka
tersebut didapatkan dari sensus terbatas mengenai anak putus sekolah yang
dilakukan Unicef bersama Direktorat Pembangunan Masyarakat Desa, Kementerian
Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi terhadap keluarga miskin
penerima Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Langsung Tunai-Dana Desa
(BLT-DD) yang mempunyai anak usia 4-18 tahun.
Suhaeni
Kudus selaku spesialis pendidikan dari Unicef, mengatakan, dari 112.000
keluarga, dan 150.000 anak berusia 4 hingga 18 tahun dari 1.151 desa di 354
kabupaten, 33 provinsi yang disurvei, mayoritas anak yang putus sekolah
disebabkan karena kekurangan biaya
pendidikan. "Sebanyak 70% anak dilaporkan putus sekolah karena alasan
ekonomi," ujarnya dalam diskusi daring bertema Siswa Rentan di Masa
Covid-19, Selasa, 14 September 2021.
Dampak
pandemi terhadap aspek pendidikan ini juga disebabkan karena penutupan sekolah.
Pendidikan terpaksa dilakukan secara
daring guna menghindari pola pendidikan tatap muka (luring). Sayangnya,
ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap pendidikan secara langsung di
sekolah berimbas pada kemampuan belajar siswa hingga terjadi learning loss.
Learning loss sendiri menurut The Education and
Development Forum (2020) adalah situasi dimana peserta didik kehilangan
pengetahuan dan keterampilan baik umum atau khusus atau kemunduran secara
akademis, yang terjadi karena kesenjangan berkepanjangan atau
ketidakberlangsungan proses pendidikan.
Survei
Kementerian Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) terhadap para
pelajar bahkan telah memastikan pelajar Indonesia mengalami learning loss akibat pembelajaran jarak
jauh (PJJ) selama pandemi Covid-19. Hal ini diungkap oleh Direktur Sekolah
Dasar Kemendikbud Ristek, Sri Wahyuningsih.
"Ditemukan
data dan temuan kami, bahwa terjadi penurunan 0,44 sampai 0,47 persen terhadap
standar deviasi (penyimpangan). Atau senilai 5 sampai 6 bulan pembelajaran per
tahun," tutur Sri saat konferensi pers Indonesia Hygiene Forum ke-8.
Melihat
dampak dari pandemi yang cukup signifikan terhadap keberlangsungan dunia
pendidikan ini, pemerintah melalui
Kemendikbud Ristek melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi (Ditjen
Diksi) mengambil langkah antara lain dengan meluncurkan program Ayo Kursus.
Ilustrasi
para siswa belajar komputer (foto: R.Wiranto)
Program
ini diperuntukkan bagi anak di bawah 25 tahun yang tidak bersekolah dengan
target 24.000 pelajar. Masyarakat yang memenuhi syarat nantinya akan meningkatkan
kompetensinya dengan kursus dan pelatihan dari berbagai pilihan jenis
keterampilan sesuai minat dan bakat mereka.
Nadiem
Anwar Makarim, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud
Ristek), menganggap program ini dapat menjadi salah satu solusi untuk membantu
masyarakat agar tetap meningkatkan kualitas dirinya meski kondisi pandemi yang
kurang menguntungkan.
“Upaya
untuk memberikan kesempatan kepada anak-anak usia sekolah atau putus sekolah,
untuk kembali mendapatkan pendidikan, mereka harus kembali ke sekolah. Salah
satunya melalui program kursus dan pelatihan,” kata Nadiem Rabu (22/9)
Sependapat
dengan itu, Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi, Wikan Sakarinto, juga
mengatakan kesempatan ini sangat relevan bagi mereka agar tidak menyerah dalam
kondisi saat ini. Program Ayo Kursus
sendiri diintegrasikan dengan program Pendidikan Kecakapan Kerja (PKK) dan
Pendidikan Kecakapan Wirausaha (PKW) yang tengah berjalan tahun 2021. Kegiatan
ini memiliki anggaran sebesar Rp100 miliar untuk LKP di seluruh Indonesia.
“Baik
program PKK maupun PKW merupakan program bantuan pemerintah untuk mendorong
peningkatan kompetensi sumber daya manusia (SDM) Indonesia, khususnya bagi anak
usia sekolah yang tidak bersekolah untuk mendapatkan pendidikan keahlian dengan
bantuan pemerintah dengan sertifikasi dan standar berbasis industri,” jelas
Wartanto selaku Direktur Kursus dan Pelatihan.
Program
Ayo Kursus ini diharapkan dapat memberikan layanan tepat sasaran kepada mereka
yang memang benar-benar membutuhkan.
Untuk
terus meningkatkan mutu pendidikan di masa pandemi saat ini, selain menggalakan
keterlibatan sekolah formal, jangan dilupakan juga peran pendidikan non formal
seperti Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) dan Sanggar Kegiatan belajar
(SKB). Kedua lembaga ini juga banyak menawarkan keterampilan kerja.
Ilustrasi
pelatihan menjahit untuk siswa (foto: R.Wiranto)
Sebagai
contoh, PKBM Pioneer, Karanganyar, Jawa Tengah, yang didirikan oleh W.W
Prayitno sukses dalam mengembangkan anak didik dari berbagai multikultur.
Mereka adalah anak tidak mampu, gelandangan, pengamen jalanan, hingga para
pengemis yang hidup di jalan.
Meskipun
memiliki anak didik yang beragam nyatanya tempat ini benar benar memfasilitasi
anak didiknya untuk terus berkembang dalam bidang keterampilan, khususnya
multimedia secara serius.
Bagi
peserta didik di PKBM Pioneer, pembayaran tidak menjadi masalah. "Kita
tidak mencari keuntungan, tapi benar-benar membantu anak didik yang terlantar
di luar," ujar Yasa Griya Sejati, salah seorang instruktur PKBM Pioneer,
kepada penulis.
Ia
mengatakan, PKBM Pioneer mengembangkan berbagai keterampilan khususnya di
bidang multimedia, seperti video, shooting, dan sejenisnya.
Sementara
di Kepahiang, Bengkulu, PKBM Az-Zahra juga dapat menjadi contoh dalam upayanya
meningkatkan kualitas di masa pandemi. PKBM Az-Zahra membuat berbagai macam
program bagi anak didiknya yang mayoritas merupakan para pelajar yang putus
sekolah.
Wahyudi
contohnya, pelajar 18 tahun awalnya
melanjutkan ke SMP 3 Kepahiang. Namun ia putus sekolah karena menderita
penyakit epilepsi sehingga sering pingsan tanpa sebab di sekolah yang
membuatnya sering dihina.
“Alhamdulillah…aku
ikut Paket B, temanku banyak dan baik-baik. Gurunya juga ramah dan baik hati.
Aku senang sekolah di PKBM Az-Zahra Kepahiang. Sekarang aku sudah kelas X Paket
C, “ kata Wahyudi yang pernah Juara Lomba Baca Puisi Tingkat Nasional ini.
Peserta
didik lain, Junita Wati yang merupakan pelajar kelas 10 mengungkapkan rasa
senangnya dalam mengemban ilmu di PKBM Az-Zahra ini.
"Bapakku
bekerja sebagai tukang becak. Saat di SD aku tidak mampu membeli seragam
sekolah sehingga sering dibully teman-teman. Keluarga menyarankan untuk sekolah
di PKBM Az-Zahra Kepahiang setelah mendapat informasi bahwa belajarnya
gratis," ujarnya.
Siswa
berusia 20 tahun ini bahkan sudah mahir
dalam menggunakan komputer. Menurutnya kenyamanan yang dihasilkan oleh para
tutor dan kawan-kawan di sini membuatnya tidak takut dalam mempelajari ilmu
komputer yang sebelumnya ia khawatirkan.
Seperti
halnya PKBM, SKB juga terus digalakkan pemerintah guna meningkatkan mutu
pendidikan. SKB Kota Batam, Kepulauan Riau rajin mendatangi pelosok-pelosok
untuk mengidentifikasi warga yang belum
pernah sekolah atau putus sekolah. "Masyarakat ini kami diajak untuk
mengikuti pembelajaran Kesetaraan Paket , Paket B, dan Paket C," kata Drs
Suryadi selaku Kepala SKB Batam kepada penulis.
Seluruh
program yang dilaksanakan pemerintah dengan mengikutsertakan baik sekolah
formal juga non formal ini diharapkan mampu meningkatkan kembali mutu
pendidikan yang ada di Indonesia meskipun di tengah pandemi COVID-19. Pada
prinsipnya tidak ada kata menyerah dalam menghadapi tantangan apapun yang
menghadang.***R.Wiranto
Komentar
Posting Komentar