Puspita Bahari Penggerak Perubahan di Pesisir Demak
Di desa nelayan
Morodemak Kecamatan Bonang, Demak, ada legenda hidup yang tak ada hentinya menorehkan cerita. Ia
adalah Puspita Bahari (kembang laut), kelompok pemberdayaan perempuan desa, yang tak lelah berjuang. Cita-cita
perjuangannya pun tak terlalu muluk, sekedar memperbaiki nasib diri, keluarga
dan lingkungan masyarakat desanya.
Komunitas perempuan itu pun telah membentuk koperasi dengan nama yang sama:
Puspita Bahari. Koperasi tersebut kini memiliki 148 anggota aktif, yang tersebar
di tiga desa yang bertetangga yakni Morodemak, Purworejo, dan Margolinduk.
Hampir semua anggota komunitas ini punya usaha mikro-kecil yang dikerjakan secara pribadi atau
berkelompok. Usaha mereka tidak jauh-jauh dari makanan hasil laut. Koperasi itu
kini telah memiliki kantor sendiri, sekaligus show rooom, di Desa Purworejo.
Selama pandemi berlangsung, kegiatan koperasi ini mengendor karena serapan
pasarnya menyusut. Seiring meredanya badai Covid-19, Puspa Bahari menggeliat kembali. Ia pun mengikuti bazar UKM di pelataran Kartor Wilayah BRI di kota
Semarang. ‘’Produk kami harus dikenal secara luas agar bisa diserap lebih
banyak,’’ kata Masnuah, 47 tahun, inisiator gerakan perempuan desa nelayan
Demak, yang berjuang lewat wadah Puspa Bahari itu.
Koperasi Puspa Bahari mulai berkiprah 2006, dengan modal iuran Rp. 1 juta
yang dikumpulkan dari 30 orang, dan melayani anggotanya dalam bentuk koperasi
simpan pinjam beras. Anggotanya, para isteri nelayan, yang kesulitan membeli
beras, bisa meminjam 10 kg beras dan saat mengembalikan memberi keuntungan ke koperasi
Rp. 2.000.
Namun, Masnuah tak puas bila koperasinya hanya memberikan pelayanan beras,
karena tidak bisa mendongkrak kesejahteraan keluarga nelayan. Ia ingin para
isteri nelayan juga dapat menghasilkan rupiah. Pengalaman pribadinya, sebagai
isteri nelayan yang penghasilannya tidak menentu, sangat sulit menjalani hidup.
Ia sering bekerja di usaha pengrajin ikan asin milik tetangga, tapi hasilnya
tak seberapa. Tak sebanding dengan curahan waktu dan tetangganya.
Industri Rumahan Ikan Olahan
Masnuah, yang hanya lulusan SD itu memutar otak. Memasuki 2009, ia mulai bekerja sama dengan sejumlah LSM. Bersama
teman-temannya ia memperoleh pelatihan keterampilan, dan akses modal murah
meskipun kecil, dan akses pembinaan dari pemerintah daerah. Meski dia masih
meraba-raba peluang apa yang bisa
diperoleh, Masnuah optimistis karena Puspita Bahari memiliki sumberdaya khusus : bahan baku ikan yang melimpah
di sekitarnya.
Maka, setelah usaha koperasi simpan-pinjam beras itu bangkrut, ditinggalkan
banyak anggotanya, dan mengalami jeda cukup panjang, ia memulai lembaran baru
dengan usaha produk olahan ikan laut. Koperasi
Puspita Bahari tetap menjadi wadahnya. Mula-mula produknya sebatas ikan asin
dan kerupuk ikan. Usahanya mula i
menggelinding.
Bukan hanya sebatas koperasi, Puspita Bahari juga bergerak melakukan gerakan
sosial kecil-kecilan. Kelompok ini mendorong para isteri ikut membantu suaminya
melaut, menjadi perempuan nelayan.
Gerakan kaum perempuan itu tidak lepas dari cibiran tetangga. Desa-desa
nelayan di pesisir Demak itu secara umum menganut budaya patriarkis, yang mengagungkan
superioritas kaum lelaki dalam sistem tatanan sosialnya, termasuk di dalam
rumah tangga. ‘’Kami dianggap melawan kodrat,’’ ujar Masnuah. Para isteri
keluar rumah, pergi kesana-kemari, berkelompok, dan melakukan aktivitas di luar
kebiasaan, dianggap tak menghargai kaum lelaki. Tak heran, bila Puspa Bahari
ini juga kesulitan untuk menghimpun partisipasi perempuan secara masif.
Toh, Masnuah tak ambil pusing. Ia tetap mendorong perempuan melaut.
Faktanya, dengan bantuan sang isteri, para nelayan kecil yang biasa melaut
sendirian dengan perahu kecil bermotor 12 PK, bisa lebih produktif. Isteri
pegang kemudi, suami fokus merentang jala, dan ia bisa lebih sering menebar
jala. Hasil tangkapan lebih banyak. Bisa saja, suami mengajak kenek untuk
melaut, tapi hasilnya akan lebih kecil, karena harus dibagi dua. Kontribusi
perempuan isteri nelayan di sini jelas dan konkrit.
Mereka yang tidak bisa melaut, aktif di kegiatan pengolahan. Kini, ada empat
sentra produksi yang dikelola Koperasi Puspita Bahari. Ada pengolahan ikan asin
kering atau gereh di dalam bahasa Jawa, di sebuah area dekat Pelabuhan
Morodemak. Ada pula tempat pengolahan aneka
hasil laut seperti kerupuk ikan, kerupuk
cumi, kerupuk udang, abon, dan dendeng, dan terasi, yang tersebar di tiga dusun, yakni Dusun Tambak Layur (Desa Morodemak); Kampung
Bolang (Desa Margolinduk), dan Dukuh
Tambakmalang, (Desa Purworejo). Ada pula produk ikan segar, hasil tangkapan
dari anggota Koperasi sendiri.
Perempuan Nelayan
Kini ada 32 orang anggota koperasi yang bekerja sebagai nelayan dengan
perahu milik sendiri hasil kredit bank.
Koperasi memfasilitasi akses kredit usaha rakyat ke Bank BRI setempat. Masnuah
dan teman-temanna perlu perjuangan hampir setahun demi membantu anggota meraih
status sebagai nelayan, yang ditandai perubahan di KTP. Pada kolom pekerjaan,
ada perubahan dari “ibu rumah tangga” menjadi
“nelayan”, termasuk pada KTP Masnuah.
Perubahan status itu terjadi 2017 lalu. Status nelayan itu, menurut
Masnuah, diperlukan antara lain untuk urusan kredit bank. ‘’Juga untuk
asuransi. Mereka juga telah mendapat
asuransi gratis pada 2019 lalu. Ketika itu, polis asuransinya diberikan
langsung oleh Ibu Menteri Susi Pudyastuti,’’ tutur Masnuah. Nilai preminya Rp.
179 ribu setahun. Sayang, pada tahun 2020 dan 2021, asuransi gratis itu
dialihkan ke penanganan Covid-19.
Secara langsung, dampak kehadiran koperasi itu tampak pada nasib anggotanya. Beberapa mereka
memiliki perahu sendiri. Kehidupan mereka secara umum membaik, termasuk
Masnuah. Bukan saja ia bisa
menyekolahkan anaknya ke jenjang perguruan tinggi, Masnuah sendiri telah menyelesaikan pendidikan paket
C, setara dengan SMA. Bahkan, ia pun bertekad menempuh pendidikan tinggi dan
menjadi sarjana di usia 50-an.
Dampak lainnya, para nelayan
setempat juga punya opsi menjual hasil tangkapannya ke koperasi Puspita Bahari. Meski
serapannya tidak cukup besar, namun bisa berdampak pada kenaikan harga. Untuk
ikan sriding, ikan selebar tiga jari yang menjadi salah satu produk andalan
koperasi lantaran bisa diolah menjadi keripik gurih dan banyak disukai
konsumen, dampak kenaikan harganya cukup signifikan, bisa Rp. 14.000 per kila
di tahun 2019 lalu.
Secara umum, kehidupan di Desa-desa pesisir Demak itu juga semakin dinamis.
Meski tidak terkait langsung dengan Koperasi Puspita Bahari, kaum perempuan
desa-desa tersebut pun makin banyak yang terjun di dunia usaha mikro atau
bekerja di sektor isdustri rumahan.
Local Heroes
Sedikit banyak, perubahan sosial terjadi. Tak semuanya serba mulus. Konflik
terjadi, dan ujungnya sering terjadi
tindak kekerasan, terutama di lingkungan keluarga. Komunitas Puspita Bahari itu
tak tinggal diam. Mereka pun melakukan advokasi kepada perempuan yang menjadi
korban kekerasan. ‘’Dari 200 kasus yang terjadi beberapa tahun terakhir ini,
sekitar 75 persen adalah kekerasan dalam rumah tangga,’’ kata Masnuah dalam sebuah
video yang diunggah di youtube..
Komunitas Puspita Bahari pun punya tenaga paralegal bernama Hidayah. Meski
hanya lulusan SD, dan baru belakangan punya ijasah persamaan SMP, Hidayah rajin
belajar soal hukum pada aktivis yang sering datang ke desanya. Paralegal berhak
melakukan pendampingan hukum, karena cukup mengerti hukum, meski ia tak bisa
berlaku sebagai pembela seperti halnya pengacara. Kehadiran Hindayah terbukti
bisa menyelesaikan banyak kasus tanpa harus membawanya ke pengadilan. Tak heran
bila ia pun menjadi ‘’Paralegal Terapik’’ pilihan LBH APIK 2020.
Dalam sebuah berita yang diposting di akun Facebook Puspita Bahari, Pemimpin
BRI Cabang Demak Muhammad Nizar menilai, Masnuah merupakan tokoh masyarakat
pesisir Demak yang tidak hanya mengadvokasikan kepentingan perempuan tapi juga
memperkuat ekonomi para perempuan pesisir Demak.
"Kita menilai dia itu local heroes yang membantu komunitas nelayannya
di Demak. Jadi, tak hanya sekedar dapat ikan kemudian dijual, tapi mereka olah
lagi. Itu keren, apalagi perempuan. Biasanya perempuan kan tidak mau tapi
mereka berani," ungkap Nizar.
Puspita Bahari terus bergerak. Sadar telah memasuki area usaha yang
menuntutnya kompetitif, ia kini bekerja sama dengan Rumah
BUMN. Sesi pelatihan
berlanjut dengan urusan cteknik dan seni desain kemasan, manajemen keuangan ,dan marketing.
Kegiatan CSR Bank BRI pun menyumbang barang modal berupa spinner, sealer, kompor, hingga wajan serbaguna.
Namun, desa-desa pesisir Demak itu belakangan makin sering terkena banjir rob.
Bila bajir rob itu datang, jalan-jalan di Desa Morodemak terendam. Komunitas
perempuan itu pun ikut mendukung upaya penebalan hutan magrove di pinggiran
desa, di pinggiran tambak penduduk. Puspita Bahari juga turut mendorong agar
Morodemak menjadi destinasi ekowisata. Sebuah transformasi budaya (lanjutan)
sedang terjadi di sana.
Penulis: Indy Keningar
Komentar
Posting Komentar