Kopi Mukidi Semerbak Harum Penuh Cinta
Pandemi yang berkepanjangan memang membuat usahanya terpukul, tapi tidak
sampai terhempas. Mukidi masih bisa bertahan menghidupi keluarganya. Kedai
kopinya yang terletak di pinggiran Kota Parakan, Kabupaten Temanggung, memang
terpaksa tutup, karena daerahnya
bolak-balik menjadi zona merah, oranye Covid-19, dan belakangan cukup lama
tertahan di tatus PPKM Level 4. Namun,
sejak September 2021 lalu semua berangsur pulih.
‘’Saya diselamatkan perdagangan online. Kopi Mukidi bisa jalan lewat toko
online, dan banyak juga yang langsung order ke HP saya,’’ ujar Mukidi, 45 tahun, petani kopi dari Dusun Kwadungan, Desa Wonotirto,
Kecamatan Bulu, Kabupaten Temanggung. Namun,
volume penjualannya susut, karena gerai kopi dan cafe-cafe yang melanggan kopinya tutup. ‘’Yang masih beli konsumen
perorangan,’’ kata Mukidi pula.
Di kalangan pegiat kopi di Kabupaten Temanggung nama Mukidi cukup dikenal. Bahkan,
namanya telah masuk dalam list di banyak pengusaha cafe dan gerai kopi, sebagai pemasok kopi lokal yang sering
dihubungi. Tak jarang pula Mukidi diundang
oleh pegiat kopi rakyat lainnya dari Jawa Timur, Jawa Barat, sampai
Lampung, untuk diajak bertukar pengalaman. Namanya cukup kondang dalam
komunitas kopi rakyat.
Produk kopi Mukidi mudah diakses lewat toko-toko online. Di sana ada bubuk
Kopi Robusta, kopi Arabika, Kopi Arabusta (canouran Robusta dan Arabika) dan
kopi lanang (kopi yang krdua keping bijinya saling menempel). Semua menggunakan
identitas Kopi Jowo untuk
menunjukkan asalnya dari daerah pegunungan Jawa tengah. Persisnya, kopi
dari lereng Gunung Sumbing dan Sindoro.
Untuk brand dia gunakan namanya sendiri : Mukidi. Beberapa nama yang dia
pernah pakai untuk membawa kopinya ke pasar ternyata tak cukup berhasil. Untuk
menguatkan brandnya agar lebih medok kejawaannya, ia tempel foto dirinya
dengan mengenakan caping, dan baju
surjan. Beres. ‘’Rejekinya nempel ada di nama Mukidi,’’ kata sambil tertawa
tergelak.
Dalam merintis usaha, semua
dilakukannya sendiri. Ia memanen sendiri kopinya di ladang, lantas menyeleksi
biji kopinya (grading), menjemur sampai kadar air tertentu, menyangrai
(roasting) dan menggilingnya. Baru pada tahap kemasan dia dibantu
anak-isterinya. Desain kemasan pun Mukidi pula yang membuatnya. Ia terampil
menggunakan aplikasi photoshop, adobe illustrator, carva dan sejenisnya. Ia
terampil pula mengoperasikan berbagai aplikasi di laptop serta gadgetnya. Mukidi
sama sekali tidak gaptek.
Menanam Kopi
Lahir dari keuarga petani yang pas-pasan, Mukidi hanya sempat menggapai
pendidikan SMK bidang ekonomi, yang ia tamatkan pada 1994. Selepas SMK, ia
bekerja serabutan. Ia pernah menjadi kenek angkot, pengecer susu sapi, dan pegiat LSM Lingkungan Hidup. Untuk
hal yang terakhir, itu terjadi setelah
ia menjadi pendamping mahasiswa KKN dari UGM Yogyakarta yang datang di desanya 1996.
Pasca KKN, ada mahasiswa UGM yang mencariya dan memintanya membantu kegiatan rehabilitasi
lahan dan hutan di lereng Gunung Sumbing di lokasi yang tidak jauh dari desa
Mukidi.
Sejak itulah, ia dikenal sebagai pegiat lingkungan sampai bertahun-tahun kemudian. Ia juga masih kerja serabutan,
ketika ia menyunting Sumi, gadis tetangga desannya. Toh, dari kerja serabutan itu aktivis Pemuda
Muhammadiyah Kecamatan Bulu itu bisa menghidupi keluarga kecilnya, menabung
untuk membeli sebuah motor bodong tanpa STNK dan sepetak tanah yang terletak di
lereng terjal.
Suatu kali di tahun 2008, ia memutuskan untuk secara penuh menjadi petani,
setelah ia mendapat sebidang lahan warisan keluarga yang
harus digarap. Berbeda dari warga Dusun Kwadungan yang gemar menanam tembakau,
Mukidi memilih kopi. Petani tembakau, katanya, harus menjual hasil panennya ke
pedagang pengumpul dan tak ada outlet lain. Ia tak bisa menjadi petani mandiri,
hal yang ia cita-citakan.
‘’Apalagi, erosi di daerah ini sudah
cukup serius. Saya tak perlu menambah-nambahi lagi,” ujarnya. Dengan cangkul ia
membuat terasering. Guludan dibikin sejajar dengan kontur tanah untuk dapat
menahan erosi. Dia menanam pohon peneduh dulu, bibit kopinya menyusul. Untuk memperbaiki
struktur tanah dan kesuburannya, ia gunakan kompos dan pupuk kandang, Kopinya
tumbuh secara cepat dan dalam tempo tiga tahun sudah berbuah. Ia tidak mau
menjualnya sebagai kopi mentah. Apa pun
bentuknya ia mencoba menjualnya dalam bentuk olahan.
Mencari rujukan lewat internet, di tahun 2011 ia mulai menjual kopi bubuk,
dan roasted coffee ke gerai-gerai kopi di Semarang, Magelang, Jogya. Meski
dalam skala mikro, usahanya mulai berjalan.
Ia pun mengikuti berbagai festival kopi yang mulai menjamur. Namanya mulai
dikenal. Mukidi jadi sering diundang kesana-kemari oleh kelompok tani dan
komunitas kopi, bukan saja sebagai petani dan pengrajin kopi, melainkan juga
sebagai petani aktivis konservasi lahan.
Usahanya makin dikenal di tahun 2013-2014. Ia mendapat liputan media,
menerima penghargaan dari sana-sini dan
sering diundang kesana-kemari. Rumahnya yang terselip di ujung jalan desa itu
disulapnya menjadi Rumah Kopi Mukidi. ‘’Ada saja yang datang. Mereka
menikmati kopi sekaligus merasakan sentuhan suasana pedesaan,’’ kata Mukidi. Rumahnya ada pada
ketinggian 1.100 meter dpl (dari permukaan laut). Jalan naik sejauh 6,5 km dari Kota Parakan ke dusunnya dapat
ditempuh dalam waktu sekitar 10 menit saja berkat jalan yang beraspal mulus.
Sesekali, ada warga komunitas kopi yang
datang sambil mebawa tamu asing. Mukidi juga membuka gerai kopi di Parakan.
Petani Mandiri
Dalam berbagai kesempatan, Mukidi menyebut dirinya petani mandiri. Apa itu
petani mandiri, Kang? ‘’Petani mandiri itu, petani yang bekerja dengan cinta,’’
katanya. Petani mandiri mencitai lingkungan alamnya, termasuk lahan pertaian,
dan tak membiarkannya rusak, tererosi dan longsor. Prinsipnya, kegiatan
pertaniannya harus disertai upaya konservasi lahan.
Yang kedua, katanya, petani mandiri itu menyintai produknya. ‘’Jangan menjual
produk kita dalam keadaan mentah, karena semakin mentah semakin murah,’’ kata
Mudiki. Petani mandiri memberi nilai tambah atas produknya dengan proses
pengolahan. Dengan adanya nilai tambah, petani tidak harus hidup dengan lahan
yang luas, dan menyebabkan tekanan alam lingkungan oleh petani lapar lahan makin menjadi-jadi. ‘’Petani mandiri juga
menyintai dirinya, dan orang yang membantunya, dengan tidak membiarkan jerih
payahnya dibayar murah,’’ kata Mukidi.
Yang keempat, petani mandiri juga menyintai konsumennya, dengan membuat
olahan seenak yang mereka bisa lakukan. Kuncinya belajar dan terus belajar.
Yang terakhir, kelima, petani mandiri juga mau membantu petani lainnya dengan
tidak pelit berbagi ilmu. ‘’Tak semua rahasia bisnis itu boleh dibuka. Tapi,
kalau berbagi ilmu budidaya ya perlu dilakukan. Makin banyak petani mandiri,
makin baik kondisi sosial masyarakat petani kita,’’ Mudiki menambahkan.
Atas dasar prinsip itu,, Mudiki menolak ketika seorang juragan datang
kepadanya, dan menawarkan kongsi bisnis dengan mengambil brand Kopi Mudiki.
Belum apa-apa, menurut Mukidi, sang juragan sudah bicara tentang produksi
besar, dan memenangkan kompetisi untuk meraih kemajuan. ‘’Kalau seagresif itu
saya ndak ikut saja, karena itu berarti ada orang yang harus kalah dan
pasarnya diambil. Hidup nggak harus seperti itu,’’ ujarnya pula.
Mukidi memilih kerja sama yang saling menghidupi. Ketika ia memerlukan kopi
tambahan, karena produksi kebunnya tidak cukup, ia membeli kopi kering dan
sudah disortasi dari petani koleganya. Tentu ia membayar lebih tinggi, dan itu
yang dia sebut sebagai saling menghidupi. Petani mandiri tak merepotkan siapa
pun.
Mukidi sadar, dengan pola kerjanya itu posisinya pun bisa lemah di depan
kompetiter agresif. Toh, dia tak terlalu pusing. Ia tetap fokus mengembangkan
produknya dengan terus belajar bagaimana kadar air yang paling pas untuk kopi
disangrai. Ia belajar pada temperatur berapa, dan berapa lama roasting
dilakukan untuk masing-masing jenis Robusta, Arabika, atau kopi lanang, dan
disesuaikan pula dengan daerah asalnya. ‘’Tak semua kopi bisa diperlakukan
sama,’’ kata ayah dua akak remaja itu.
‘’Yang penting kita berusaha sebaik mungkin. Gusti Allah yang akan membagi
rezeki,’’ katanya. Ia hanya berharap pandemi cepat berlalu, agar semerbak harum
kopinya dapat kembali menyeruak dari Rumah Kopi Mukidi di Dusun Kwadungan Desa
Wonotirto, Gerai Kopi Mukidi di Kota Parakan, dan satu gerai kopi lagi di area
alun-alun Kota Temanggung. Bagi yang sulit menjangkau, ada gerai lainnya di toko online.
Penulis:Indy Keningar
Komentar
Posting Komentar