Ilmu Mantiq dan Tabayyun Sebagai Senjata di Era Informasi
Sumber Gambar: antaranews.com |
"Membentuk dan menyaring kemampuan
filtrasi informasi di era post truth dan hyper reality." Kutipan itu tertera
pada sebuah gambar yang beredar di internet dengan foto Anita Wahid di
sampingnya, dan bersumber dari Kantor Berita Antara. Selain itu, kutipan
tersebut juga sebuah topik di acara Kegiatan Awal Mahasiswa Baru UI tahun
akademik 2021/2022, dan Anita Wahid tampil sebagai pembicara pada sesi
Masterclass: Critical Thinking.
Kita tahu, putri Gusdur nomor tiga itu,
kini sosok penggerak Gusdurian, gerakan nonpolitik praktis yang berpondasi pada
sikap Gusdur pada masa lampau. Setelah usai dengan pendidikannya, yaitu Master
of Arts dalam development management di Ruht Universitaet-Bochum, Jerman, dia
kini menjabat sebagai Deputy Director Virtue Research Institute, Supervisory
Board Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanity Universitas Indonesia.
Namun di acara tersebut, dia berdiri sebagai Ketua Ikatan Alumni Universitas
Indonesia. Karena pada 2002, dia juga memiliki gelar studi sarjana Hubungan
Internasional, FISIP UI.
Sumber Gambar: pikiran-rakyat.com |
Anita Wahid mengatakan pada acara tersebut,
bahwa dengan matinya nalar, maka proses berpikir kita akan rusak dan sulit
mengambil keputusan yang objektif. Saat itu dia berbicara mengenai bahaya hoaks,
yang bukan hanya karena kesalahan informasi, melainkan juga sengaja dibuat
untuk mempermainkan emosi seseorang agar menimbulkan kecemasan berlebihan.
Yang menarik yang akan tertulis pada
artikel ini bukan mengenai hoaks, melainkan sadar atau tidak, kita hidup di
zaman yang dibanjiri informasi. Terlepas penting atau tidak, kabar-kabar begitu
saja membanjir tanpa kita tahu asal muasalnya. Sebut saja lewat TV dan media
sosial. Bahkan kalaupun kita menolak kedua itu, informasi-informasi tetap
datang di tempat-tempat yang semestinya menjadi wilayah privat, katakanlah
Whatsapp dan email.
Dulu di masa Orde Baru, informasi terhambat
karena ada pihak-pihak yang mengekangnya. Tapi sekarang, semuanya seolah-olah
terbolak-balik. Kita tenggelam di dalam lautan informasi yang seolah-olah hanya
dapat dinikmati secara sekilas-sekilas.
Katakanlah kamu tak punya HP, informasi
tetap akan menyerang lewat orang-orang di sekitarmu. Mereka bertukar kabar
dengan dasar, bila meminjam istilah Bapak Quraish Shihab, "Katanya dan
katanya."
Maka dari itu, kita perlu alat untuk
menguji, dan menyeleksi kelayakan informasi tersebut, yang sering kali
menyerang tanpa memberikan sejenak waktu untuk kita bersiap-siap.
Alat termudah dan termurah, kita
mengenalnya sebagai ilmu logika. Tapi sayang sekali, alat ini tidak dikenalkan
secara serius di sekolah-sekolah. Bahkan barangkali, guru-gurunya pun tak akrab
dengan ilmu tersebut. Tapi di tempat lain, yaitu pesantren, ilmu logika menjadi
pengajaran di kalangan santri. Oleh sebab itu, bersyukurlah bila kamu seorang
santri.
Yang perlu diketahui, para santri tidak
menyebutnya sebagai ilmu logika, melainkan ilmu mantiq. Mantiq adalah bahasa
arab, berasal dari akar kata nathaqa, yang artinya, berpikir. Sedangkan orang
yang berpikir disebut nathiqun, dan objek yang dipikirkan disebut manthuqun.
Dan alat berpikirnya disebut manthiqun.
Dengan menguasai ilmu mantiq, kita dapat
menghemat waktu dan energi. Sebab apa pun informasinya, dapat kita gugurkan
secara langsung bila terdeteksi mengandung sesat pikir. Dengan begitu, tak
perlu lagi menggunjingkan informasi tersebut lama-lama. Apa perlunya
menggunjingkan informasi yang
menyesatkan?
Perkara informasi, sebenarnya ada dua poin
yang mesti digaris bawahi. Yang pertama, pembawa informasi tersebut, atau biasa
disebut sumber informasi. Yang berikutnya yaitu, isi informasi tersebut.
Dalam ajaran Islam yang juga diajarkan di
pesantren, ada sebuah tradisi yang disebut tabayyun, yang artinya, mencari
kejelasan hingga terang dan benar. Tabayyun juga dapat dipakai sebagai alat
agar akal seseorang tetap waras dalam menghadapi era informasi hari ini.
Dalam QS Al Hujarat ayat 6, dianjurkan
bahwa, pembawa kabar atau informasi yang patut di-tabayyun ialah orang-orang
fasiq; orang yang kesehariannya kerap melanggar aturan agama; melakukan
tindakan keliru yang berujung pada dosa, dan pelanggar budaya positif
masyarakat.
Tapi meskipun demikian, tabayyun sebaiknya
tetap dilakukan bila informasi terkait menyangkut kemaslahatan khalayak.
Artinya, meskipun keluar dari mulut-mulut orang baik, informasi tetap harus
diuji. Sebab boleh jadi informasi tersebut mengalami pengikisan karena
prosesnya yang panjang dari satu tangan ke tangan yang lain. Selain itu juga
untuk mengantisipasi kalau pembawanya ialah seorang pelupa. Ini biasa terjadi
bila pembawa informasi itu orang-orang berusia senja.
Di lain hal, tabayyun semestinya cuma
berlaku pada informasi yang sekiranya penting. Karena saking banyaknya
informasi, kemungkinan seseorang akan lelah bila semua mesti dicari kebenarannya.
Terlebih, untuk apa juga mencari kebenaran informasi yang tidak penting; yang
tiada manfaat bagi diri sendiri maupun orang banyak.
Tapi yang jadi soal, tabayyun hanya
berfungsi bila seseorang bermental berani mengakui kalau dirinya bodoh atau tidak
tahu. Sedangkan menjadi bodoh itu memalukan, dan anggapan itu membuat orang
tergesa-gesa menarik kesimpulan pada suatu informasi.
Padahal perlu diketahui, bahwa setiap orang
hanya pintar di satu atau dua hal, dan bodoh di lain hal. Dengan menyadari itu,
sebenarnya tak perlu malu dengan kebodohan kita dan mau sering-sering bertanya.
Hanya dengan begitu tabayyun dapat difungsikan, dan kita tidak torambang-ambing
di era sekarang ini.
Penulis: Ecka Pramita
Komentar
Posting Komentar