Panggilan Hati, Kasim Mangabdikan Diri untuk Petani
Usia semakin senja, tenaga terus berkurang, kulit mulai
keriput tapi semangat dan harapan tak pernah surut. Adalah Mohamad Kasim
Arifin, seorang pria kelahiran tahun 1938 asal Langsa, Aceh Timur. Usia boleh
tak lagi muda, tapi semangat terus membara tak pernah reda termakan masa.
Kasim menghibahkan hidupnya untuk Kuliah Kerja Nyata (KKN)
sebagai Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) selama 15 tahun. Pengembaraan
Kasim dimulai 1964, Kasim mendapat penugasan Pengerahan Tenaga Mahasiswa, cikal
bakal program yang saat ini lebih dikenal dengan istilah KKN. Kasim dikirim ke
Waimital, sebuah desa di Pulau Seram, Maluku, guna mengemban tugas
memperkenalkan program Panca Usaha Tani.
Larut dalam pengabdian, KKN yang seharusnya hanya dijalani
beberapa bulan, Kasim 'tenggelam' dalam pengabdian selama 15 tahun di Waimital.
Hati nurani Kasim pada akhirnya terketuk untuk mencurahkan semua pengetahuan
dan ilmu yang ia dapat selama menimba ilmu di IPB untuk masyarakat setempat.
Terlebih setelah dirinya berjumpa dengan
sebuah keluarga petani miskin.
Kasim menjalani kehidupan sebagai seorang pria dengan
keseharian memakai sandal jepit dan baju lusuh, setiap harinya ia berjalan
sejauh puluhan kilometer bersama para petani melampaui pematang sawah.
Kasim adalah super hero bagi petani di sana, dia menjadikan
para petani sejahtera di atas lahan garapannya, menjadikan petani mandiri,
membuka jalan desa, membangun lahan garapan baru, hingga membuat irigasi
sendiri. Dan yang paling istimewa dari semuanya, Kasim tak pernah mengharapkan
bantuan satu rupiah pun dari pemerintah.
Kesederhanaan, kedermawanan dan memikiki tutur kata yang
lembut kini melekat pada sosok Kasim di mata masyarakat setempat. Julukan
Antua, tersemat pada dirinya sebagai julukan orang yang dihormati di Waitimal
dan Maluku. Gelar kehormatan itu didapuknya atas keberhasilan Kasim menumbuhkan
semangat gotong royong dan saling membantu atas sesama.
Saat awal dirinya tidak pulang semenjak masa KKN yang sudah
lewat dari waktu semestinya, hingga diketahui bahwa Kasim memutuskan untuk
menetap di Waimital, Kasim kerap kali dianggap sebagai sosok yang hilang.
Di saat teman-temannya sudah menyelesaikan pendidikan,
menjadi sarjana, dan meraih kehidupan yang berhasil sebagai seorang pejabat
atau pengusaha, Kasim masih tetap berpegang teguh pada pendiriannya untuk
menetap di Waimital sebagai seorang petani yang bersahaja.
Bagaimana dengan orang tua Kasim?. Bukan tanpa usaha, orang
tua Kasim yang berada di Aceh sudah membujuk Kasim untuk pulang.
Orang nomor satu di IPB yang kala itu masih dijabat Andi
Hakim Nasoetion juga kerap memanggilnya untuk pulang dan menyelesaikan
pendidikan, namun Kasim bergeming.
Sang rektor lalu mengirimkan sahabatnya, Saleh Widodo untuk
menjemput Kasim. Akhirnya dengan berat hati, Kasim pulang ke Bogor, kota tempat
ia menimba ilmu masih dengan hanya menggunakan sandal jepit dan baju yang
lusuh.
Kasim yang mengaku tidak memiliki keahlian menyusun skripsi
akhirnya dibantu teman-temannya yang
memutuskan untuk mengangkat kisah perjuangan Kasim di Waimital sebagai
pembahasan Skripsi.
Dengan nada yang khas, ramah, penuh hayatan, Kasim perlahan
menceritakan perjalanan membangun Waimital kepada teman-temannya yang
mendengarkan dengan penuh haru. Mereka menganggap Kasim sebagai sosok yang
memberikan bukti nyata akan pengabdian kepada masyarakat melampaui makna dari
penugasan yang diterima lewat program KKN itu sendiri.
Pagi itu cukup cerah, matahari terbit tak pernah mengingkari
waktu, 22 September 1979, hari wisuda tiba. Kasim nyatanya tidak berharap
banyak, apa yang bisa diharapkan dari wisuda seorang mahasiswa yang seharusnya
sudah berlangsung selama 15 tahun sebelumnya.
Memutuskan untuk duduk di barisan kursi paling belakang,
namun hal tak terduga justru terjadi. Begitu Kasim datang, semua orang berdiri
dan bertepuk tangan. Dedikasi yang Kasim lakukan membuat banyak orang sangat
menghormati dirinya.
Tak melupakan tekad yang ia miliki sejak awal, selepas
wisuda Kasim diketahui kembali ke Waimital dan meneruskan hal-hal yang ingin ia
bangun, padahal saat itu dirinya diketahui mendapat berbagai tawaran pekerjaan
yang menjanjikan.
Dari sosok Kasim kita belajar banyak tentang arti pengabdian
terhadap hidup. Nafas dan jiwa raga ini dihibahkan tanpa pamrih. Sekali lagi,
di ujung tulisan ini, penulis selalu berharap "Panjang Umur Untuk Hal-Hal
Baik". Terima kasih Bapak Kasim. Dedikasimu untuk negeri ini patut banyak
dicontoh penerus negeri. Panjang umur
dan sehat selalu Antua. (*)
Sumber : goodnewsfromindonesia.id
Komentar
Posting Komentar