Membangun Kampung, Membangun Manusia
Rabu, 15 September 2021, seperti biasa, matahari terbit tak
pernah ingkar waktu. Ya, hari yang cerah di pertengahan bulan September ini
saya sudah terikat janji dengan seorang yang sangat istimewa. Bambang Irianto
namanya. Bagaimana tidak, saya berkesempatan mengunjungi dan berbincang
langsung dengan beliau di Karawaci Kota Tangerang, Jawa Barat.
Pria kelahiran 65 tahun lalu tersebut bukan sosok sembarang,
terlahir dari rahim seorang ibu asal Malang, Bambang Irianto adalah sosok pria
penerima penghargaan Kalpataru. Yups.. kalau boleh saya katakan, beliau adalah
donatur tetap oksigen bagi masyarakat.
Betul sekali, penghargaan tertinggi di Tanah Air bagi sosok
ataupun kelompok yang berjasa dalam melestarikan lingkungan di Indonesia. Bagi
pegiat lingkungan hidup khususnya, Bambang adalah pahlawan lingkungan.
Berangkat dari Bogor, saya langsung bergegas dengan semangat 45 karena akan
bertemu dengan orang istimewa. Tak lupa, saya terlebih dahulu menjemput
pengabadi momen, Wawan si fotografer berbadan tambun di bilangan Gandul, Depok.
Tepat pukul 11:00 WIB, saya tiba di Posko Dinas Pak Bambang,
para pengurus dan sesepuh di sana bahkan membanggil Pak Bambang sebagai Bapak
Guru. Mengenakan kaos berkerah warna putih, lengkap dengan jam tangan klasik
serta mengenakan blangkon. Bapak Guru
langsung menyambut saya dan tim dengan hangat. Oiya, rasa nasionalisme Bapak
Guru ini sangat tinggi, itu saya lihat dari Lambang Garuda yang tersemat di dada
bagian kiri kaos yang dikenakan beliau.
Cengkok Malang, saat menyapa masih sangat kental. Tak perlu
waktu lama, saya langsung diajak ke kampung binaan beliau, tepatnya di Kampung
Anggur, RW03, Uwung Jaya, Cibodas, Kota Tangerang. Letaknya tak terlalu jauh,
dari pos dinas Bapak Guru, hanya beberapa menit saja, kami sudah sampai di
sana.
Selama di perjalanan dengan mobil dinas, Bapak Guru
bercerita banyak hal, mulai dari kisah membangun Kampung Glintung Go Green (3G)
di malang, hingga sampai ke Tangerang pada 2017 lalu. “Untuk mengubah sebuah
kampung yang kita inginkan, yang pertama adalah merubah pola pikir
masyarakatnya terlebih dahulu, itu prinsip,” begitu nasehat Bapak Guru kepada
saya.
Sembari memperhatikan rambu lalu lintas, beliau sangat fasih
menceritakan detil yang harus dilakukan dalam menyulap sebuah lingkungan. Saya
yang duduk sedari awal di sebelah beliau terus mengangguk, mengaminkan apa yang
dikatakan Bapak Guru. Intonasi saat bercerita sangat ramah, mudah dipahami dan
runut.
Banyak pelajaran yang saya petik dari beliau, salah satunya,
untuk merubah sebuah kampung menjadi lebih baik, membutuhkan tahapan – tahapan
yang harus dilewati. Saya terus mengangguk dan memastikan alat rekam di
handphone saya bekerja sesuai tugasnya. Menangkap setiap kata yang dilontarkan
Bapak Guru.
Sesampainya di Kampung Anggur yang merupakan akronim dari
“Anggota Masyarakat Gemar Bersyukur” kami langsung disambut para tokoh dan
pengurus Kampung Anggur. Sambil menyeruput teh hangat yang disediakan, Bapak
Guru kembali melanjutkan, nasehat dalam membangun sebuah lingkungan.
Sesekali membetulkan letak blangkonnya, beliau mengingatkan
untuk membangun sebuah kampung, harus bedasarkan potensi di lingkungan
tersebut, mungkin potensinya di lingkungan hidup, UMKM, pendidikan, kesehatan
dan lain sebagainya.
“Tapi Harus Dikolaborasikan dengan potensi-potensi yang
lain,” sebuah rumus awal saya dapatkan dari beliau. Dalam membangun kampung,
bukan hanya membangun lingkungan tok, membangun kampung adalah membangun manusia
seutuhnya, pendidikan, kesehatan, tenaga kerja.
Pertama, dengan nada tegas, identifikasi potensi dan masalah
sebuah lingkungan. Kalau kita tahu potensi dan masalahnya, setelah itu susunlah
cita – cita membangun kampung, cita – cita ini harus menjadi milik warga.
Konsultasikan dengan berbagai pihak terkait masalah-masalah yang ada di
lingkungan. Kolaborasikan, kerjasamakan dengan berbagai stakeholder baik
pemerintah kota, perguruan tinggi, media massa bahkan hingga TNI – Polri.
“Setelah itu semua dilakukan, merubah mindset warga,” begitu
beliau menjelaskan. Setelah itu, kampung harus masuk pada tahap, Green Business
agar kampung ini menjadi produktif dan mandiri tergantung dari potensi. Semua
proses membangun kampung harus dipublikasikan, before – after. “Dulu seperti
ini, sekarang bisa begini,” tutur Bapak Guru. Tahap terakhir setelah berhasil,
adalah reflikasi. Kampung itu harus direflikasikan dengan daerah-daerah lain.
Setelahnya baru kemudian dibentuk sebuah lembaga. Bisa
berupa Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), koperasi, kelompok tani untuk menjamin
keberlanjutan kampung. “RT dan RW mungkin bisa berganti, namun konsep
kampungnya harus tetap abadi dari generasi ke generasi,”. Duar... penulis
merasa terperangah dengan penjelasan Bapak Guru yang sangat gamblang.
Di akhir, pebincangan, beliau berpesan, sebuah kampung harus
mempunyai nilai-nilai edukasi. Orang datang mendapat ilmu, bukan hanya sekedar
selfie-selfie saja. “Maka semua kampung tematik, harus bernilai edukasi,”.
Panjang umur Bapak Guru, panjang umur untuk hal –hal baik. Dari kampung untuk
negeri.
Tangerang, 15 Sep. 21
Penulis : Maulana Yusuf
Komentar
Posting Komentar