Asa Polisi Berantas Buta Huruf
Suasana pagi di Desa Kuala Rosan, Meliau, Sanggau,
Kalimantan Barat, cukup cerah. Maklum, beberapa hari diguyur hujan deras.
Jika kita berada di desa tersebut, maka setiap paginya akan
terlihat warga yang berduyun-duyun berangkat ke ladang tani, berdagang, bekerja
di pabrik, atau juga 'orang kantoran'.
Rata-rata itulah pekerjaan warga di sana.
Sinar matahari makin meninggi saat itu di Desa Kuala Rosan.
Bertambah hangat dan sedikit menyilaukan.
Justru kehangatan sinar mentari pagi tersebut menjadi
'kawan' penyemangat bagi Bripka Firdaus Febri Tri Suhardi untuk totalitas
mengabdi bagi negerinya, Indonesia.
Pak Febri, begitu warga desa mengenal dan menyapanya, adalah
seorang penjaga keamanan negara: Polisi. Tanggung jawabnya sebagai
Bhabinkamtibmas Desa Kuala Rosan.
Sekira jam 7.30 WIB atau 08.00 WIB dari Senin hingga Jumat,
Pak Febri biasaya tiba di kantor Desa Kuala Rosan --kecuali ada tugas lain
harus dikerjakannya. Setelah itu, ia sibuk dengan tugasnya sebagai
Bhabinkamtibmas.
Usai beraktivitas sesuai peran kerjanya, lantas Pak Febri
memulai lagi kesibukan profesi lainnya. Sebagai Guru.
Guru sukarela yang mengajarkan membaca, menulis serta
berhitung kepada warga Desa Kuala Rosan yang buta huruf. Entah masih berusia
muda atau orang tua, Pak Febri ikhlas menyampaikan pembelajaran.
Maka bakal tampak Pak Febri kerap di sela-sela waktunya
menyiapkan alat tulis. Ada yang ia bawa sendiri, ada pula memanfaatkan milik
kantor desa.
Tak jarang pula Pak Febri memantau kesiapan sarana
belajar-mengajar. Lokasinya menggunakan aula kantor Desa Kuala Rosan. Ia
periksa kelengkapan bangku bagi 'siswanya'. Papan tulis. Penghapus spidol. Meja
Guru dan lainnya.
Semua dilakukannya bila tidak ada tugas utama harus
diselesaikan sebagai Bhabinkamtibmas Desa Kuala Rosan.
Pak Febri tidak pernah menggerutu. Ia secara ikhlas melakoni
peran Guru sukarela. Padahal tanggung jawabnya sebagai Bhabinkamtibmas tidak
ringan. Memastikan situasi di desa aman
dari gangguan pelanggaran hukum.
Pak Febri tidak pernah memungut biaya dari para warga desa
yang antusias mengikuti pembelajaran darinya. Ia tidak juga memanfaatkan
'jabatan lainnya' sebagai Guru sukarela untuk memperoleh keuntungan keuangan.
"Yang penting masyarakat di sini pandai-pandai.
Walaupun orang desa, tapi IQ-nya jangan sampai kalah sama yang tinggal di kota
dan dididik di sekolah formal," kata Pak Febri, Jumat (10/9/2021).
Memang waktu belajar dari 'Guru' Pak Febri masih belum
tetap. Kadang 2 kali, bisa juga 3 kali dalam sepekan, pernah juga hanya 1 kali.
Tapi dapat dimaklumi, Pak Febri juga punya tugas mulia lainnya: Polisi dan
Bhabinkamtibmas Desa Kuala Rosan.
Namun lazimnya, Pak Febri memulai menjadi Guru sukarela lalu
memberikan pembelajaran sekitar jam 10.00 WIB atau 10.30 WIB dan selesai jam
12.00 WIB.
Berprofesi menjadi Guru sukarela di deaa terpencil bukan
karena tekanan atau paksaan. Pak Febri berbuat itu karena gundah mengetahui
banyak warga Desa Kuala Rosan yang buta huruf.
Kemudian secara inisiatif Pak Febri akhirnya membuka kelas
belajar-mengajar kepada warga desa. Ia juga memohon izin ke pimpinannya agar
'direstui'.
Cara Pak Febri dalam menyampaikan materi belajar membaca,
menulis maupun berhitung kepada warga desa yang buta huruf pun terlihat
bagaikan Guru profesional.
Penuh kesabaran dalam membimbing serta mencari metode yang
mudah diserap warga agar dapat dipahami mereka.
"Kalau kita ikhlas mengajar, ingin membuat masyarakat
pandai, maka jangan anggap mereka orang yang punya salah. Kita harus sadar
bahwa warga desa sama sekali tidak tahu apa-apa," ujar Pak Febri.
Sangat mulia dan bijaksana karakter Pak Febri. Sosok yang
tidak mengeluh untuk mewujudkan asanya menciptakan masyarakat Indonesia yang
cerdas berkualitas.
Pak Febri, Anda adalah teladan. Dan saya yakin Indonesia
sangat bangga mempunyai putra seperti Anda.*
*Penulis : HAL
Komentar
Posting Komentar